Minggu, 28 Maret 2010

negara dan bangsa yang bernegara

Dengan kata lain, bukan hanya aspek intelektualitas dan keterampilan yang dibangun tapi juga aspek budi pekerti dan cinta pada negara. Sekarang hampir tidak ada pendidikan yang memberikan secara maksimal budi pekerti serta kesadaran bernegara dan membela negara.

Akibatnya, rasa cinta kepada negara semakin hari semakin menipis di jiwa warga negara. Belum lagi derasnya pengaruh globalisasi sekarang ini semakin mempengaruhi hilangnya kecintaan kepada negara.
Padahal, di masa perjuangan bangsa ini merebut kemerdekaan pada tahun 1945, dengan hanya bersenjatakan bambu runcing, para pahlawan kusuma bangsa berani melawan penjajah yang bersenjata lengkap.

Para pahlawan rela mengorbankan jiwa dan raganya karena memiliki kebanggaan dan kecintaan pada negaranya. Mati pun tidak apa-apa. Semangat itu dikwatirkan pada suatu saat akan hilang karena dari hari ke hari terus meluntur.

Semangat dan idealisme itu harus dibangkitkan dan ditumbuhkembangkan kembali, dalam hal ini melalui media pendidikan. Dalam kurikulum pendidikan mesti ada penanaman nilai dan semangat bernegara dan kesadaran bela negara.

‘Mengapa saya harus mencintai negara ini?’ dan ‘Mengapa saya mesti berkorban untuk negara ini?’ adalah dua pertanyaan besar yang bisa menjadi pintu masuk penanaman kesadaran bela negara dan idealisme kebangsaan itu melalui setiap jenjang pendidikan.

“Intinya, sejak kecil setiap warga negara yang sedang mengecap bangku pendidikan pada setiap jenjangnya diberikan motivasi untuk mencintai dan bangga kepada negaranya,” ucapnya.

Namun membangun motivasi warga negara bukanlah pekerjaan instan. Sebab, membangun motivasi bukan indoktrinasi, melainkan membangkitkan kesadaran eksistensial setiap warga negara sebagai anak bangsa.

Satu hal yang patut pula digarisbawahi, membela negara ini tidak hanya tugas TNI tapi juga seluruh komponen bangsa ini. Penekanan akan kondisi itu masih sangat kurang pada negara ini. Padahal, tidak ada satu pun negara di dunia ini yang tidak memberikan kesadaran bela negara kepada warga negaranya.
Bahaya Narkoba, sekadar satu contoh, haruslah dipersepsikan sebagai sebuah ancaman yang sangat berbahaya bagi seluruh bangsa ini. Mengancam generasi muda harapan bangsa dan ujung-ujungnya membuat kemampuan bela negara pada warga negara menjadi rapuh.

Kesadaran bela negara itu hakikatnya kesediaan berbakti pada negaranya dan kesediaan berkorban membela negaranya. Ini yang sangat kurang pada warga negara Indonesia. Itu bisa dirasakan bersama
Rakyat Korea Selatan dan Jepang lebih suka memakai mobil produknya sendiri daripada produksi negara luar.

Perlu disadari, perang di era sekarang sudah bersifat semesta. Setiap negara sudah harus siap berperang. Sekadar ilustrasi, dalam perang modern yang pertama dilumpuhkan adalah pusat-pusat logistik seperti instalasi listrik, jalan-jalan, jembatan, lapangan terbang. Tujuannya agar negara itu menjadi lumpuh. Kalau sudah lumpuh, mudah untuk dikalahkan.

Bertolak dari hal itulah, dalam konteks Indonesia saat ini, kesadaran bernegara dan kesadaran bela negara harus terus ditumbuhkembangkan kepada setiap warga negara agar, pada gilirannya, mereka memiliki kebanggaan, dan mampu membela negaranya sendiri. Lebih jauh dari itu, mereka mau mengabdikan diri dan bersedia berkorban untuk negaranya. Hanya saja, kesadaran warga negara untuk berkorban akan muncul bila negara (baca: pemerintah) memperhatikan nasib mereka.
Bagaimanapun, bertumbuh dan berkembangnya semangat bernegara dan kesadaran bela negara mensyaratkan adanya hubungan timbal-balik antara pemerintah dan rakyat.
Pemerintah tidak bisa sekadar menuntut rakyat tanpa menunjukkan kinerja yang baik, khususnya bahwa apa yang pemerintah perbuat memang semata-mata untuk kepentingan rakyat.

Pemerintah harus mampu membuat rakyat merasakan bahwa pemerintah telah berbuat banyak dan bekerja keras untuk mereka. Rakyat harus merasakan manfaat dari apa-apa yang diperbuat pemerintah sehingga rakyat mau berpartisipasi dalam membangun negaranya.
Karenanya, bangsa ini membutuhkan sosok pemimpin yang bisa menampilkan dirinya sebagai tokoh yang bias dipercaya dan menjadi panutan bagi seluruh rakyat yang dipimpinnya. Pemimpin panutan adalah yang mau dan mampu memberikan contoh teladan.

Pemimpin panutan adalah pemimpin yang berani mengambil keputusan dengan segala risikonya. Sosok pemimpin yang kuat, berani, dihormati karena perilakunya, dan mampu memberi contoh konkret. Pemimpin yang konsekuen dan konsisten mempraktikkan apa yang dia ucapkan.

Misalnya, ketika Sang Pemimpin memimpin gerakan hidup sederhana kepada rakyatnya, maka dia sendiri harus benar-benar hidup secara sederhana.

Bukan pemimpin yang cari untung dan mengutamakan kepentingannya sendiri. Bukan pula pemimpin yang bicara A tapi kelakuannya B. Pemimpin dengan karakter seperti itu tidak akan laku. Sosok pemimpin yang memiliki mental cari selamat tidak bisa diandalkan membangun negeri ini, dan membawa bangsa ini dari lembah keterpurukan.

Tapi, tragisnya, sejauh ini bangsa Indonesia belum mempunyai sosok pemimpin ideal seperti itu. Tokoh-tokoh panutan sudah punah dan hampir tidak ada lagi figur-figur yang bisa menjadi pemimpin panutan.

Mudah-mudahan di masa yang akan datang muncul pemimpin panutan. Pribadi pemimpin teladan yang berani mengambil risiko untuk membawa bangsa ini lepas dan bebas dari keterpurukan. Pemimpin berkarakter demikian yang sangat dibutuhkan oleh bangsa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar